Kompas

Jawa Pos

Media Indonesia

Koran Tempo

Republika



Gatra

Femina

Matabaca

Noor

Annida





Minggu, 03 Februari 2008
Jalan Air

air itu telah jatuh ke atap, menggesek cucuran tua yang retak

terus laju menemui pepatah yang kita ucap berabad lebih dari jalan usia

hujan yang tercucuk bertaut di genting rinduku akan kulitmu

yang lembab daging. sebegitu akrabnya kita dengan hujan

tapi sekalipun kita tak pernah benar-benar bisa bersitahan dalam jauh

langkah terus berlainan. terus memacu serupa ingin terus menuju dingin

"aku gemetar," katamu. lalu kau berbelok jalan ke lembah bunga angin.

kilau laut mengelabui pandangmu. kilau yang terus berbinar saat siang,

di matamu, mengendap pelan, beku, dan pecah menjadi garam.

"berenanglah dalam pasang yang tak henti, biar kau tahu rasanya

terhoyong gelombang." ucap yang salah menurut kiraku

sebab sakit kita belum genap sembuhnya. dan kau

membikin lagi sebilah ucap yang membikin kita gila akan buih.

aku terlalu sering tidak menyetujui ucapmu

dalam diriku hanya ada waktu. menyerupai rimba

dengan segala pepohon hidup yang menuliskan catatan cuaca

di rimbun daunnya. "ada baiknya kau menyetujui, kita jalan berlain arah,

mungkin kau menuju selatan yang basah seperti harapmu. dan aku

menelikungi simpang ke arah barat, saat hilangmu. di hari keseratus."

itu bukan tangis. aku hanya berucap malu sebab arah yang kita songsong

membikin jatuh berkepanjangan. bahkan bukan julangan gunung

yang membuat penat kepergian. tapi hamparan ladang padi

membikin rindu pulang yang sangat hebat.

kita dalam jauh. "apakah kau ingin istirahat sejenak di badanku?"

meski igaumu membikin lengking yang tajam, tetap saja kau

tak paham lakuku. kau terus mengingat jalur air yang beranjak

ke kedalaman humus, mengendapkan setiap perjumpaan

menjadi kepungan danau. lalu henti di sana.

pernahkah kau melihat aku yang serupa sungai

menghanyutkan setiap kotoran rindumu ke muara di badanku?

Kandangpadati, 2007

Label: