Kompas

Jawa Pos

Media Indonesia

Koran Tempo

Republika



Gatra

Femina

Matabaca

Noor

Annida





Selasa, 19 Februari 2008
DI STASIUN
: saraswita laksmi

Hujan turun, stasiun berkabut.
Sudah 15 menit lewat dari jadwal kedatanganmu
Ada segenggam kenangan yang kutunggu
dari koper dan tas ranselmu

Adakah hujan ini
memanggul kembali kenangan
lalu membawanya pergi
sebelum sempat singgah di stasiun ini?

Di sini tak ada penjual kembang
Sebagaimana yang kau tunjukkan
Hanya kursi setengah berkarat
Yang berderit-derit tiap aku meluruskan punggungku

Hujan turun,
kabut menuai jarak pandangku

Sesaat kereta datang
Mata pun kuputar mencari penjual kembang
Sambil mengingat-ingat sayup suara
“Kita bertemu di dekat penjual kembang.”

Hujan menggerimis, kabut menebal
hingga terasa membasah di wajah

Sungguh,
tak ada penjual kembang, sayang
Lalu bagaimana aku akan mengenal
beku wajahmu?


Jogja 2007

Label:

JALAN PULANG
-1-
Sepanjang malam
sepanjang tebing Tanjungkarang
Kutemukan jalan berpulang
Jalan menuju surga

Serupa kisah negeri dongeng
di gelisah bukitnya
Tak ada cerita bintang-bintang cemas
menunggui malam
lewat cahaya yang tenggelam

Lalu sepanjang malam
Kukenang masa kecil
Dongeng muncul
dari bibir ibu kepadaku
menjelang tidur
dalam balut selimut

- 2 -
Sepanjang jalan
Sepanjang Tanjungkarang
Kihitung liku dan simpang jalan
Tak ada nujuman baik
Dari nasib yang dikeramatkan

Tak ada waktu sekekal masa lalu
Karena hari esok tak mampu dijangkau
yang ada di kepala hanya kenangan
berenang-renang di ingatan

Tak ada de javu
Hanya lelucon bagi bocah ingusan
Atau sekedar mimpi yang setengah tanggal
Lalu kita dipaksa menyusun ulang
potongan demi potongan

- 3 -
Sepanjang jalan pulang
Kuhapus masa lalu
Kucela napasku yang memburu

“Di sini tak ada jalan menuju surga
Tak ada negeri kurcaci
Tiada putri yang tidur ratusan tahun”

- 4 -
Tanjungkarang
adalah tempatku pulang
Aku terisak
Rindu ibu,
rumahku yang jauh,
dan masa kecilku yang kelabu


Jogja, 2006-2007

Label:

Jumat, 15 Februari 2008
GEJOLAK LAUT
sepulang zapin menjala senja, ruang langit berubah hening
namun panas darahmu terus memilah puakku?

tinggal saja suka-cita
bagai pertama kau kenal seonggok lupa
kemudian sisa kenangan begitu menyucuk
dendam tiada sudah
orang-orang membangun petak-petak rumah
seruang bangkai buritan
memecah lelah tubuh serentang landai tubir pantai timur

hangat keringat mengantar mimpiku untuk udara laut
tapi, belum juga mereka tersapu ke hulu sungai
barangkali tetua rimba begitu asyik berkecimpung mandi
dan gundik perintang kelam berderai mereka lantakkan

ya, kujeling anyir yang terus saja menguap lewat lingkaran kaca
celetuk doa berlayar menyerbu nganga selat
makna telah ditambatkan pada geliat ombak. tapi kau, nahkoda
pulanglah
belah arus terus saja menguntit risau
pada kedangkalan induk muara
biar saja lapang laut terisi yang berganti lahir
lain ikan tentu lain pula rindunya
begitupun ketololan udang-udang
yang memagut sampah dalam kepala
para hang, sahabatmu
telah pancangkan tiang merdeka di dermaga rawa
telan saja perlahan ngilu yang didera riuh asing peradaban.
angkat sauhmu
lalu, carilah ibu

2007

Label:

Kamis, 14 Februari 2008
RINDUKAH AKU?

kelakar senja dalam bejana cinta
merangkak aku di tepian rindu
makin lama makin tinggi
kau mendekat aku takut
terlalu tinggi bukit terkasih
sungguh langit telah memerah kini
semakin dekatkah dirimu?
aku rindu padamu tapi aku takut bertemu
tapi apa yg aku takutkan?
cinta itu tetap sama
mungkinkah kita yang berubah?
diriku atau dirimu yang berubah?

Bukittinggi,11 Februari 2008

Label:

hanya aku, kamu .. kita!
Singgahan aku menjadi tempang
Pabila butir nya seperti mengertawakan aku
Sangat mengeletek tangkai hati
Beramai² melawan gelak tawa seperti aku si badut
Yang sesat di padang yang terang

Lawatan aku menjadi lumpuh
Setelah bait² kata di lempar semudahnya
Bagai ditampal² limpahan hina
Sungguh aku berdukacita ..
Sehingga sudah .. aku menangis lagi..

Kegirangan aku turut hilang lesap ke mana
Melihat seluruh luahan yang keluar seperti lahar
Memamah kulit tulang temulang ku
Habis terbakar hangus semua perasaan halus
Yang kita kait di kala suatu ketika dulu

Aku tidak pernah membenci kamu
Malah aku melihat kamu seperti dulu
Tempat itu tidak pernah di ubah suai
Kerna hanya kamu sahaja yang mampu menghuni disitu

Aku tidak pernah mencaci kamu
Malah masih subur kasih dibaja walau jarak tidak seperti musim lalu
Sentiasa menitip doa agar kamu kuat menempuh duri tajam
Disepanjang perjalanan siang malam mu

Aku tidak pernah melupakan kamu
Malah aku ada saja ruang untuk melihat tinggalan kenangan
Jua mengintai kamu di sebalik langsir orang²an
Hanya kamu sahaja yang tidak ketahuan
Lantas memikir aku lah manusia kejam

Kenapa kita berantakan begini..
Sedangkan demensi ini bukan satu yang hebat

Kenapa jalan ini yang kita temui
Sedangkan selama ini sentiasa ada pertukaran debatan
Banyak simpang yang telah kita tempuhi..
Dan akhirnya.. tewas di persimpangan
Yang lurus tanpa banyak lobang dan lopak air
Semudah itu... sesenang itu...

Sampai ke akhir ini
Bukan yang terakhir harapnya
Bukan simpulan mati tariknya
Jika soalan itu ditanya
Sesungguhnya .. aku akan menjawap..
Iye.. aku masih di sini untuk kamu..

Label:

Di Teras Depan

Lalu aku hanya terduduk di teras depan
memandangi jalan basah oleh hujan
yang sebentar datang, sebentar pergi
Gitar kayu usang terdengar lirih
di antara riuh bocah bermain becek,
aku tak keberatan berbagi riuh dengan mereka

Di teras depan ku pandangi langit
yang seolah seperti samudera,
hujan yang turun sesekali deras
melembabkan tembok yang penuh
dengan tempelan gambar parpol dan iklan,
itu pun juga tinggal setengah,
setengahnya lagi jadi bungkus kacang rebus, mungkin...

Di teras depan ku lihat hujan yang turun sesekali deras,
melunturkan warna merah putih
dari bendera plastik sisa tujuh belasan,
juga layang-layang yang tersangkut di kawat-kawat listrik,
kadang yang tersisa hanya arkunya saja...

Di teras depan ku rasakan dingin angin
dari hujan yang turun sesekali deras,
merasakan berbagi riuh dengan bocah-bocah
yang bermain di bawah hujan yang sesekali deras...

Jakarta, 14 Februari 2008
Dwi Rastafara
http://petak-tujuh.blogspot.com

Label:

Minggu, 03 Februari 2008
Perkawinan Bulan

pada pertemuan ingatan di mana suara lepas mencari jiwa yang sama
sampai langit tak berbahasa.
maka untuk sekian usia, kau pun menari seperti musim hujan, memanggil,
lalu masuki kedalaman waktu yang ganjil.

pada percakapan daun-daun di mana rindu menikam pucuk jantung.
menjemput tujuh kedukaan dengan mantra qabul. bait gelisah menderas
nuju rupa pengantin.

pada percintaan kata di mana takdir tak punya sepakat. malam runtuh
di kota merah. menerka warna yang bertamasya jauh ke negeri angin.

setelahnya, hanya pernikahan di sebidang bulan yang membayang

desember, 2007

Label:


Nanti Kampungku Jadi Kaleng Mentega

koto dan sukma. kalau nanti kalian jadi pengantin bulan
aku ingin hadir di pesta kalian. tapi
aku tidak tahu apa nasib waktu kemudian.
sekarang kita bikin sedikit angan-angan dalam ambulan:
kalau aku punya uang, kalian aku undang
di kampungku makan lemang, mendaki bukit silungkang.
apa kalian pernah melihat meditasi air di langit-langit ngalau?
ratusan tahun lamanya ia bertahan dalam sunyi hingga menyusun dirinya
jadi ornamen yang lebih indah dari bangunan apa pun orang
kota ciptakan. baiklah, nanti kita jalan-jalan ke sisawah.
memudik air di bawah cahaya matahari yang disaring daun daun,
mendengar suara batu agung (gerbang kampung); suara akar, tebing, tanah,
arus sungai; burung punai, babi hutan, harimau daun, ular, siamang, biawak, kucing air;
cindaku, sijundai, sibigau. apalagi ya? alamak!
angin ternyata menyimpan banyak suara tak tergambarkan
campur aduk dengan suara kesedihan
yang setengah mampus kita tuliskan.


sunlie, kiting, fahmi, mau ikut juga? ajaklah siapa saja
asal jangan kalian bawa pemerintah. aku takut nanti kampungku
jadi seperti kampung ira komang. nanti aku harus beli tiket masuk
untuk berkunjung ke negeri leluhurku sendiri.
nanti kampungku jadi kaleng mentega.

Label:


RENDEZVOUS (2)
--rumah sastra jebres; fadhila

seperti mimpi dan hati nero
yang terbuka pada kebeningan acte;
kebeningan dunia!
aku ingin mengajakmu
mencumbui setiap sudut bumi yang riang,
mungkin sembari mencari kemurnian puisi
hingga hati setiap orang berbuah;
bernyanyi dan menari bersama kita

menatapmu, selalu saja dunia baru tercipta
dan semua benda belumlah bernama

karena itu, aku ingin aromamu yang belia
melekat selamanya
lalu dengan puisi, kita akan memberi nama nama
pada setiap yang bernyawa dan tak bernyawa,
juga pada tuhan yang menjadikan
segala dari tiada

berjanjilah padaku
dengan kepolosan eva
untuk meleburkan waktu dan jarak,
perempuan penanda

agar luput ketakutanku
membakar roma—ah, kota-kota
yang bersemayam di hati yang lebam

dan kita terberkati di bumi tua
sebagai manusia!

Solo, Nopember 2007

Label:

Jalan Air

air itu telah jatuh ke atap, menggesek cucuran tua yang retak

terus laju menemui pepatah yang kita ucap berabad lebih dari jalan usia

hujan yang tercucuk bertaut di genting rinduku akan kulitmu

yang lembab daging. sebegitu akrabnya kita dengan hujan

tapi sekalipun kita tak pernah benar-benar bisa bersitahan dalam jauh

langkah terus berlainan. terus memacu serupa ingin terus menuju dingin

"aku gemetar," katamu. lalu kau berbelok jalan ke lembah bunga angin.

kilau laut mengelabui pandangmu. kilau yang terus berbinar saat siang,

di matamu, mengendap pelan, beku, dan pecah menjadi garam.

"berenanglah dalam pasang yang tak henti, biar kau tahu rasanya

terhoyong gelombang." ucap yang salah menurut kiraku

sebab sakit kita belum genap sembuhnya. dan kau

membikin lagi sebilah ucap yang membikin kita gila akan buih.

aku terlalu sering tidak menyetujui ucapmu

dalam diriku hanya ada waktu. menyerupai rimba

dengan segala pepohon hidup yang menuliskan catatan cuaca

di rimbun daunnya. "ada baiknya kau menyetujui, kita jalan berlain arah,

mungkin kau menuju selatan yang basah seperti harapmu. dan aku

menelikungi simpang ke arah barat, saat hilangmu. di hari keseratus."

itu bukan tangis. aku hanya berucap malu sebab arah yang kita songsong

membikin jatuh berkepanjangan. bahkan bukan julangan gunung

yang membuat penat kepergian. tapi hamparan ladang padi

membikin rindu pulang yang sangat hebat.

kita dalam jauh. "apakah kau ingin istirahat sejenak di badanku?"

meski igaumu membikin lengking yang tajam, tetap saja kau

tak paham lakuku. kau terus mengingat jalur air yang beranjak

ke kedalaman humus, mengendapkan setiap perjumpaan

menjadi kepungan danau. lalu henti di sana.

pernahkah kau melihat aku yang serupa sungai

menghanyutkan setiap kotoran rindumu ke muara di badanku?

Kandangpadati, 2007

Label:

BENDERA KUNING
Serak gagak
takluk menawar maut
membawamu kembali.
Bendera kuning luluhkan pertemuan
langit memerah
melayu bunga yang rekah di dasar dada.
Air mata mengalir dari tepian tebing
hingga mata memutih
tulang ini terasa perih.

Aku harus merelakanmu lepas
menuju relung sunyi di bumi.
Kidung angin kuning
mengunci telinga
juga waktu para ziarah.
di atas rebah tanah.

Bendera kuning berkibar
mata ini kian gemetar.

Bandung, 2007

Label:

Memasuki Januari

matikan lampu dan kunci semua pintu
aku tak ingin terompet dan kembang api itu
menggugurkan angka pada almanak
menyeretku pada tahun yang sesat

2008

Label:

Puisi

Menyeberangi sebaris puisi
Seperti melewati sebuah taman
Aku jadi bangku, dan
cahaya matahari
serupa waktu

Seseorang akan datang
membaca ulang
Sesat ke ujung malam
Atau menemui terang
fajar terakhir

Seseorang akan datang
dan duduk di bangku
Menulis sebuah pesan
Atau membisikkannya perlahan
Bukan kepada angin
tapi pada semesta

Puisi mungkin mirip
keluh anjingku
Samar, sekaligus nyata


Denpasar, 2001

Label:

Makrifat Pertemuan

meja perjumpaan itu
diterbangkan dari angkasa
meninggalkan seribu bintang
berkedipan menyulut
sumbu semesta
di sela aneka hidangan
yang hangatnya menjalar
di serat-serat hati
kata-kata jadi burak di kepala
menembus lapis-lapis langit
dan kelambu-kelambu hijab
yang serasa mulai terbuka
inilah detik-detik
yang kucari dalam
hangat doaku
di antara titik bayang-bayang
di ujung mata
yang tak kunjung menetas
jadi sebuah dunia
dan gentayangan rahasia
kegelisahan ibrahimku
pada ceruk-ceruk
siang dan malam
kalau meja perjumpaan
yang telah menggetarkan
seluruh hidupku
tak lebih sekadar tempat
penukar kegelisahan
alangkah sia-sia sebuah pertemuan
seperti anak jalanan di pinggir malam
Ambarukmo, Maret 2006

Label: